Rabu, 14 April 2010

Tragedi Priok1984: Tragedi Kemanusiaa Era Orde Baru

oleh Prima Sp Vardhana / Radio Nederlands


SEKITAR 25 tahun silam, di tempat sama terjadi sebuah peristiwa pelanggarn HAM (Hak Asasi Manusia) berat. Korban tragedi tersebut ada dua versi. Menurut pemerintah tidak lebih dari 80 korban jiwa, tapi menurut saksi mata Husein Safe (64th), jumlahnya lebih dari 300-an jiwa lebih. Dasar pertimbangannya adalah pemandangan yang disaksikan oleh mata kepalanya:

"Saya lihat tentara mengangkuti mayat demikian banyaknya. Truk tentara bolak-balik mengangkut mayat-mayat yang berserakan dijalan," kata pria betubuh agak legam itu dengan menitikkan air mata.

Tragedi itu bermula dari kabar burung, bahwa empat hari sebelum banjir darah di Jalan Yos Sudarso, Tanjung Priok, 1984. Anggota ABRI bernama Hermanu dikabarkan masuk ke mushala warga tanpa membuka sepatu. Hermanu mencopot dan merobek pamflet yang mengeritik kebijakan pemerintahan Soeharto. Soal Pancasila sebagai asas tunggal.

Sang tentara bahkan dikabarkan menyiram sebagian mushala dengan air got. Warga marah. Sepeda motor Hermanu dibakar. Empat warga yang membakar sepeda motor pun ditahan di Kodim Jakarta Pusat.

12 September 1984, warga menggelar Tabligh Akbar dekat kantor polisi. Ada ribuan jemaah yang berkumpul. Isi ceramahnya keras dan kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Barang langka kala itu. Ratono, salah satu korban Tanjung Priok, saat itu ikut berceramah.

Ratono: "Dan bagi semua yang menindas, pasti akan hancur dan kita kan tegar. Acara 25 tahun tragedi berdarah Tanjung Priok, orang yang berani mengeritik kebijakan pemerintah Orde Baru pada waktu itu sangat langka."

Demo damai
Sejam sebelum tengah malam, hujan turun. Tokoh masyarakat Amir Biki mengajak jemaah Tabligh Akbar untuk berdemo ke Kodim, menuntut pembebasan empat warga mereka yang ditahan di sana. Husein Safe ada di barisan terdepan.

Husein Safe: "Jam 10 malam itulah, baru ada rencana demo ke Kodim. Itu demo ya, bukan maksudnya apa-apa. Kita demo meminta empat teman kita dipindahkan ke sini, ke polres. Nah, karena itu kan urusan polisi bukan urusan TNI, nah itu yang kami minta."

Berjarak dua meter dari tentara, warga dihadang. Ada sebelas tentara, semuanya dalam posisi siap menembak.

Kaki Husein Safe tertembus peluru. Di kiri kanan Husein, orang mati atau terluka.

Rombongan kedua yang dipimpin Amir Biki pun tiba. Maksud hati hendak menyelamatkan Husein dan kawan-kawan. Lagi-lagi disambut dengan kekerasan. Rentetan tembakan hanya sepuluh menit, tapi terasa seperti sepanjang malam.

Tak lama empat truk dan satu mobil pemadam kebakaran datang. Korban tewas dan luka diangkut. Aspal yang hitam kemerahan langsung disiram air.

Jadi buron
Kisah penculikan mengisi fragmen berikutnya. Warga yang terlibat pengajian itu satu per satu menghilang. Ratono berupaya menghindar dengan tinggal berpindah-pindah.

Ratono: "Kayaknya ini sudah nggak aman. Saya langsung kabur, lari pulang. Pertama ke Ciputat, ke Bogor sebentar, terus Cianjur. Ya buronanlah, sampai terakhir saya ke Pandeglang. Pas 40 hari persis saya ditangkap. Itu pun karena isteri saya, yang terus diikutin sama intel. Gitu kan."

Aminatun yang membantu memperbanyak dokumen kronologis penembakan warga di Tanjung Priok, ikut diangkut bersama kakaknya.

Aminatun: "Malam tanggal 14 itu, digerebek rumah saya. Jam 12 saat saya mau tidur. Terus ketok-ketok pintu gitu loh. Ternyata melihat kakak saya sudah diborgol."

Ratono dan Aminatun dicecar pertanyaan seputar malam Tabligh Akbar. Lewat tangan tentara, siksaan mampir ke tubuh mereka.

Ratono: "Pokoknya tiga orang gebukin saya dari belakang. Di depan juga ada, terus sampai meleng begini kan di sel itu diborgol. Sampai saya bilang, Allahu Akbar! Tiga orang gebuk saya, meleng begini kan. Dihajar saya, Duash! Sampai pingsan, baru berhenti. Terus disetrum, Ces-ces-ces!"

Aminatun: "Waktu itu depresi saya, karena waktu itu, tiap malam diganggu. Jadi ditakut-takutin, ada yang mau memperkosa, ada yang mau masuk, mau dibunuh segala. Ya, sebenarnya, kalau buat saya kalau dibunuh itu kan mati, nggak masalah. Kenapa pakai ada suara-suara siksaan-siksaan. Jadi diperdengarkan suara-suara siksaan-siksaan itu setiap malamnya."

Dosa Turunan
Bertahun-tahun peristiwa berlalu, masih menyisakan kepedihan bagi keluarga korban. Hidup Wanmayetty sontak berubah begitu ayahnya menghilang dari bumi, pasca tragedi Tanjung Priok. Hidupnya berjalan terseok-seok. Sekolah mandek, cita-cita disimpan lagi dalam laci. Modal mereka kala itu hanya selembar ijazah SMA.

Wanmayetty: "Jadi, bukan bapakku saja yang hilang. Tapi pekerjaan juga hilang. Karena orang yang menjadi koneksi bapakku itu ketakutan menerima aku, karena aku dianggap eks-PKI. Jadi bekas-bekas PKI jaman dulu, bergerak kembali. Jadi digaris merahi, tiap wawancara digaris merahi. Bahwa kita warga Tanjung Priok, tak layak mendapat tempat kerja, dan kuliah pun sulit."

Diskriminasi pun jadi santapan sehari-hari. Adik Yetty, Nurhayati, misalnya, selalu dipersulit saat mengurus Surat Izin Kelakuan Baik.

Nurhayati: "Mba' dari Priok? Jakarta Utara? Saya bilang iya. Tapi dia nggak bilang sih saya ini korban Priok. Tapi dia bilang, kalau dari Priok biasanya banyak tato. Jadi alasan dia tuh begitu, jadi dia pengen, saya bisa buka baju. Di situ saya marah, saya ludahin tuh polisi, akhirnya saya keluar. Dari situ, kayaknya saya putus asa ngelamar ke sana ke mari. Saya ngerasa orang-orang itu mojokin saya."

Lima kali presiden berganti. Yang hilang tetap hilang. Korban dan keluarga korban belum mendapat keadilan.

Menunggu keadilan
Hampir 25 tahun setelah peristiwa terjadi, barulah puluhan tentara diperiksa, termasuk Pangdam Jaya saat itu Try Sutrisno dan Panglima ABRI kala itu Benny Moerdani. Tapi tak semua petinggi TNI itu diajukan ke pengadilan pada 2003.

Padahal menurut Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, para petinggi TNI ketika itu, mengetahui, membiarkan dan memerintahkan penguburan diam-diam terhadap korban tewas. Bahkan diduga ikut terlibat dalam merencanakan penculikan dan penghilangan orang secara paksa.

Ifdhal Kasim: "Proses pengadilannya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan karena banyak sekali kelemahan dalam proses pengadilan ini. Kasus ini masih tetap mencari keadilan, karena upaya penyelesaiannya tidak memberikan hasil nyata bagi para korban. Bisa dikatakan, peristiwa Tanjung Priok baru diselesaikan secara parsial. Yang didapatkan korban baru partial justice."

Dari 23 pelaku yang direkomendasikan untuk diadili oleh Komnas HAM, Pengadilan HAM Ad Hoc menyusutkan jumlah terdakwa menjadi 14 tentara. Setelah berjalan tiga tahun, semuanya bebas: Mayjen RA Butar-butar, Mayjen Pranowo, Mayjen Sriyanto dan Kapten Soetrisno Mascung dan sepuluh anak buah mereka.

Islah
Warga Tanjung Priok pun dipecah belah lewat pemberian islah oleh tentara. Iming-iming uang 1 sampai 2,5 juta atau motor per orang membuat 85 dari total 100 korban Tanjung Priok ikut di belakang Pangdam Jaya Try Sutrisno. Logika yang ditawarkan Try Soetrisno kala itu adalah perdamaian.

Try Sutrisno: "Saya kira, bukan TNI saja, tiap perdamaian di tanah air itu, melegakan semua orang. Yang harus disadari. Apa kita mau terus jadi negara yang carut marut."

Padahal islah tak lebih dari sebuah sogokan demi memberikan keterangan palsu di pengadilan. Supaya saksi melunakkan, atau bahkan mencabut kesaksian. Aminatun tak pernah sudi menerima islah.

Aminatun: "Nah, kalau itu, hanya tipu daya, kalau islah itu hanya disuap uang recehan. Kemudian, disuruh ngaku, disuruh buat kesaksian yang diinginkan oleh mereka. Bikin rekayasa, bikin perlawanan."

Belasan korban yang tersisa terus bertahan, hingga kini.(*)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Free Blog Templates

Easy Blog Trick

Blog Tutorial

© 3 Columns Newspaper Copyright by SWARA ONLINE | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks